Renungan Akhir Tahun 2008


REFLEKSI AKHIR TAHUN 2008

SELAMATKAN INDONESIA DENGAN SYARI'AH, MENUJU INDONESIA LEBIH BAIK


Tahun 2008 sebentar lagi akan berakhir, dan fajar tahun 2009 segera menyongsong. Banyak peristiwa ekonomi, politik, sosial - budaya dan sebagainya yang telah terjadi di sepanjang tahun ini. Terhadap sejumlah isu terhangat di sepanjang tahun 2008, kita bisa melihat kenyataan sebagai berikut:

1. EKONOMI INDONESIA:

Di bawah Bayang Kebobrokan Kapitalisme, Kehidupan Rakyat Makin Sengsara

Keadaan ekonomi Indonesia di penghujung tahun 2008 diakhiri dengan rasa duka akibat terpaan krisis finansial global. Ini konsekuensi yang tidak bisa dielakkan mengingat sistem ekonomi Indonesia, khsususnya di bidang keuangan telah menjadi bagian dari sistem ekonomi Kapitalis global.

Secara teknis, krisis finansial global diawali oleh kredit macet di sektor perumahan di AS. Dampaknya telah membangkrutkan sejumlah lembaga keuangan besar di AS, antara lain Lehman Brother yang meninggalkan utang lebih dari 613 milliar dollar dan mempurukkan harga saham. Bukan hanya di AS, tapi juga di Eropa dan Asia, termasuk Indonesia. Tapi secara fundamental, krisis finansial global ini dipicu oleh 4 faktor utama, yakni sistem keuangan ribawi, perdagangan saham dan bursa komoditas yang penuh dengan spekulasi serta penggunaan uang kertas, khususnya dollar sebagai denominasi utama. Sistem keuangan ribawi memang telah lama ada, tapi sistem ini menjadi lebih ganas sejak Kapitalisme naik daun.

Liberalisme, inti utama dari paham Kapitalisme, membolehkan individu untuk mengembangkan kepemilikan di aneka bidang tanpa batas. Tentu saja itu tidak mungkin dilakukan sendiri. Harus dilakukan bersama orang lain. Dibentuklah sistem perseroan, dimana setiap pesero memiliki saham yang merupakan cerminan kepemilikan dari aset riil perusahaan itu dengan harapan di akhir tahun mendapatkan deviden. Dengan bantuan kredit dari perbankan, usaha perseroan itu semakin besar karena modal yang dimiliki semakin besar. Sementara, bank diuntungkan karena mendapatkan bunga dari perusahaan yang sebagiannya diberikan lagi ke nasabah penyimpan uang.

Dengan semangat untuk bisa mendapat untung lebih besar, saham-saham itu kemudian dibuat menjadi lebih liquid, artinya dapat diperdagangkan. Bila orang butuh uang tunai, tidak lagi harus menunggu dan berharap pada dividen tahunan, namun cukup mengharap pada kenaikan harga sahamnya. Dari sini muncul pasar modal (bursa saham).

Maka, bila ada dana lebih (excess fund), orang punya banyak pilihan. Bisa masukkan ke bank, atau beli saham atau beli dollar. Tapi bila suku bunga bank rendah, orang akan lari ke dollar atau saham sehingga indeks bursa naik. Tapi untuk mencegah spekulasi terhadap dollar, khususnya ketika terjadi gejolak nilai tukar, suku bunga dinaikkan. Orang akan lari ke bank dengan menjual saham, sehingga indeks saham turun. Biasanya kebijakan ini ditempuh untuk menghindari larinya modal ke luar negeri ketika pasar modal sedang lesu atau tidak percaya kepada sistem, misalnya karena gonjang-ganjing politik.

Sistem bursa saham (yang memperdagangkan surat-surat saham) ini lalu ditiru pasar komoditas. Muncullah bursa komoditas berjangka, dimana yang diperdagangkan adalah surat komitmen pengiriman komoditas. Transaksi di bursa komoditas inilah yang mendorong kenaikan harga komoditas seperti minyak yang tidak lagi rasional karena tidak lagi berhubungan dengan mekanisme suplly and demand. Misalnya, harga minyak mentah pernah melambung hingga mencapai 147 US$/barrel, yang membuat pemerintah di berbagai negara termasuk Indonesia kesulitan mengatur anggaran.

Kapitalisme bukan hanya bergerak di sektor keuangan, tapi juga di sektor pengelolaan SDA. Maka, meski negeri ini kaya sumber daya energi (minyak, gas alam, batubara, panas bumi, dan sumber energi terbarui) dan SDM-nya pun relatif mampu mengelolanya, namun realitasnya semua kekayaan itu lebih banyak dinikmati bukan oleh rakyat tapi oleh perusahaan swasta, termasuk swasta asing dengan berbagai keanehan. Misalnya, lifting minyak Indonesia jauh dari kebutuhan, malah cenderung turun meski harga minyak naik. Demikian juga kapasitas kilang kita tidak bertambah, sehingga minyak mentah kita harus diolah di Luar Negeri, dijual murah untuk dibeli kembali dengan harga lebih mahal. Batu bara dan gas alam kita juga dijual amat murah antara lain ke Cina, sehingga de facto kita mensubsidi pertumbuhan ekonomi Cina itu.

Krisis finansial global ini sesungguhnya tidaklah mengejutkan. Sistem keuangan Kapitalis memang tidak pernah bisa menghasilkan kestabilan ekonomi. Pertumbuhannya bersifat siklik. Maksudnya, bila tampak tumbuh, ia sedang tumbuh menuju puncak untuk kemudian jatuh. Dalam kajian IAEII, dalam seratus tahun terakhir terjadi 20 kali krisis. Artinya, rata-rata tiap 5 tahun sekali terjadi krisis. Tahun 1930-an terjadi depresi besar ketika pasar modal runtuh akibat orang tidak lagi percaya bahwa nilai sahamnya akan bertahan, sehingga mereka melakukan aksi jual. Ketidakpercayaan ini bisa bermula dari melihat kinerja perusahaan yang sahamnya dimiliki, misal perusahaan itu banyak utang, atau tagihan-tagihannya macet. Ini yang terjadi di Amerika Serikat saat ini, ketika bank-bank investasi dan asuransi kesulitan menagih kredit di sektor perumahan. Akibatnya, bank-bank kesulitan likuiditas (tak ada uang balik). Sahamnyapun jatuh. Mirip tahun 1929.

Namun berbeda dengan sekarang, pada krisis 1929 masih ada hal yang bertahan yaitu sistem mata uang emas atau uang yang hampir 100% dijamin emas. Tapi pilar terakhir itu pun kini tidak ada lagi. Semula, karena banyak negara bangkrut di dua perang dunia, dan Amerika Serikat adalah satu-satunya negara saat itu yang masih kuat ekonominya kuat, maka US$ dijamin penuh dengan emas, di mana 1 troy ounce (sekitar 31 gram emas 24 Karat) sama dengan 35 US$. Mata uang negara lain lalu distandarkan nilainya pada US-Dollar. Kesepakatan ini dilakukan di kota Bretton Wood (AS) sehingga disebut perjanjian Bretton Wood. Perang Vietnam dan defisit APBN membuat pada tahun 1971 AS secara sepihak melepaskan mata uangnya dari emas. Akibatnya sejak 1971, US$ terus melemah. Tahun 2008 ini 1 troy-ounce emas sudah setara dengan sekitar US$ 700, atau melemah 2000% dalam 40 tahun.

Akibat krisis finansial ini, warga AS lebih percaya memegang uang kas daripada lembar kertas saham. Banyak perusahaan terpaksa melakukan PHK seiring dengan lesunya kegiatan ekonomi di sana. Bank-bank atau lembaga keuangan lain, yang kerap menanamkan uangnya di luar negeri (tentunya juga melalui pasar modal) pun ramai-ramai melepas surat berharganya untuk ditukar dengan US$ untuk mengamankan likuiditasnya. Akibatnya, di mana-mana, termasuk di Indonesia, permintan atas US$ meningkat pesat sehingga kurs US$ naik terhadap mata uang lokal.

Karena dollar AS mengalami apresiasi, industri yang berbahan baku impor terpukul. Namun pada saat yang sama, industri yang berorientasi ekspor (dan mestinya beruntung oleh kenaikan kurs US$) tidak dapat menikmatinya, karena di luar negeri (terutama AS), ekonomi sedang lesu, konsumsi turun, sehingga permintaan barang dari Indonesia turun. Maka, tak terhindarkan perusahaan-perusahaan di Indonesia juga terpaksa melakukan PHK besar-besaran. Pengangguran dan kemiskinan dipastikan akan meningkat tajam. Globalisasi yang dibangun dengan Kapitalisme di tengah menuju jurang kehancurannya.

Pemerintah dibantu para pakar berusaha membuat beberapa paket penyelamatan krisis, misal dengan baill-out (bantuan likuiditas, intinya negara mencetak uang - ditukar dengan surat utang negara), lalu dibuat proyek-proyek padat karya, keringanan pajak dan sebagainya, termasuk penurunan harga premium memang akan sedikit mengurangi rasa perih akibat krisis. Namun selama akar krisis ini tidak dihilangkan, krisis itu akan terus berlangsung dan berulang.


2. POLITIK DALAM NEGERI:

Kejenuhan Demokrasi

Indonesia telah dianggap sebagai negara demokrasi di dunia. Presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati dan walikota dipilih langsung. Tapi rangkaian pilkada itu memakan biaya sangat mahal. Belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh para kandidat. Ironisnya, pilkada langsung itu tidak berefek langsung pada perbaikan kehidupan rakyat. Yang terjadi justru ada sebaliknya, lahirnya efek negatif, seperti polarisasi kelompok masyarakat dan merenggangnya interaksi sosial di antara masyarakat itu sendiri.

Rakyat Indonesia mulai merasa jenuh dengan proses demokrasi yang ada. Hal ini kemudian mendorong berkembangnya apatisme, ditandai dengan makin tingginya angka golput. Dari sejumlah pilkada di tahun 2008, ”dimenangi” oleh golput. Golput di pilkada Jawa Barat 33%, Jawa Tengah 44%, Sumatera Utara 43% dan pilkada Jatim putaran I sebesar 39,2% dan putaran II sekitar 46%. Angka golput pada sejumlah pilkada kabupaten/kota pun banyak yang berkisar antara 30 – 40% bahkan lebih. Fenomena itu diperkirakan terus berlangsung pada Pemilu 2009 nanti.

Make up dan Pragmatisme Politik

Di dalam demokrasi, citra politisi atau partai dianggap menentukan perolehan suara. Maka masa kampanye yang panjang, sekitar 9 bulan, pun betul-betul dimanfaatkan oleh para politisi dan parpol. Bermunculanlah iklan politik politisi dan partai. Layaknya iklan lainnya, keindahan iklan politik itu juga ”tak seindah warna aslinya”. Inilah make up politik. Partai Demokrat, mencitrakan kesuksesan pemerintahan SBY dengan menampilkan penurunan angka kemiskinan di Indonesia dan pertumbuhan ekonomi 6%. Faktanya, harga BBM dinaikkan, harga-harga kebutuhan melambung, angka pengangguran terus meningkat, banyak industri UKM gulung tikar dan sejumlah industri besar terancam ambruk dan mem-PHK karyawannya. Kehidupan rakyat pun tetap atau bahkan makin sulit, hingga banyak dari rakyat rela mempertaruhkan nyawa hanya demi uang dua-tiga puluh ribu rupiah seperti dalam pembagian zakat saat Idul Fitri 1429 H yang lalu.

Seiring dengan besarnya keinginan partai politik untuk meraih dukungan, pragmatisme politik makin kuat terjadi. Hal ini tampak dari koalisi-koalisi yang dibentuk dalam pilkada dan gagasan atau wacana yang dilontarkan parpol. Pragmatisme politik membuat warna ideologi partai menjadi kabur. Untuk partai politik sekuler mungkin tidak menjadi masalah, tapi ternyata pragmatisme politik juga melanda parpol Islam. Bahkan ada parpol Islam yang mengatakan bahwa perjuangan ideologi sudah tidak lagi relevan. Bila demikian, lantas apa fungsi dari adanya parpol Islam?

Dukungan Kepada Syariah Makin Menguat

Di sisi lain, sejumlah survai memperlihatkan bahwa dukungan kepada penerapan syariat dari semakin menguat. Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 menunjukkan 57,8% responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Survei tahun 2002 menunjukkan sebanyak 67% (naik sekitar 10%) berpendapat yang sama (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002). Sedangkan survei tahun 2003 menunjukkan sebanyak 75% setuju dengan pendapat tersebut.

Hasil survai aktivis gerakan mahasiswa nasionalis pada tahun 2006 di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya menunjukkan sebanyak 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara (Kompas, 4/3/2008). Sementara, survai Roy Morgan Research yang dirilis Juni 2008 memperlihatkan, sebanyak 52% orang Indonesia mengatakan, Syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka (The Jakarta Post, 24/6/’08). Dan survei terbaru dilakukan oleh SEM Institute menunjukkan sekitar 72% masyarakat Indonesia setuju dengan penerapan syariah Islam.

Sejumlah hasil survei itu menunjukkan masih adanya harapan yang terbentang bagi terwujudnya Indonesia yang lebih baik. Syariah Islam diyakini akan membawa perbaikan dan kebaikan, keadilan dan kesejahteraan bagi bukan hanya masyarakat Indonesia tapi juga dunia.


3. PROBLEMA SOSIAL

Pengangguran dan Kemiskinan

Pengangguran dan kemiskinan menjadi problem sosial terberat sepanjang tahun 2008. Apalagi setelah badai krisis finansial global mulai melanda Indonesia. Diperkirakan angka pengangguran dan kemiskinan akan meningkat tajam. Cepat atau lambat ini akan berpengaruh pada aspek lain. Misalnya, peningkatan angka kriminalitas, gangguan kesehatan jiwa, peningkatan angka putus sekolah, malnutrisi dan sebagainya. Sebelumnya, Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI) memperkirakan warga miskin tahun ini akan bertambah menjadi 41,7 juta orang (21,92%).

LIPI mengatakan lonjakan tersebut terutama diakibatkan kebijakan kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah beberapa saat yang lalu sebesar 28,7%. Jadi jumlah penduduk miskin di Indonesia di tahun 2008 diperkirakan akan naik 4,5 juta orang dibandingkan tahun 2007. Kondisi penduduk miskin tahun 2007 mencapai 37,2 juta atau sekitar 16,58%, dengan garis kemiskinan Rp 166.697/orang/bulan. Dengan adanya kenaikan harga BBM, hingga bulan Desember 2008 diperkirakan kebutuhan hidup layak bagi tiap individu adalah sebesar Rp 195.000/orang/bulan.

Sementara angka pengangguran terus meningkat dari tahun ke tahun. Secara besaran, pada tahun 2008 ini, tercatat sebanyak 4,5 juta orang dari 9,4 juta orang yang termasuk pengangguran adalah lulusan SMA, SMK, program Diploma, dan Universitas. Artinya, separuh dari total angka pengangguran adalah pengangguran terdidik. Mereka ini sebetulnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, namun tidak terserap oleh pasar kerja.

Yang memprihatinkan pula, besaran pengangguran terdidik meningkat dari tahun ke tahun. Proporsi penganggur terdidik dari total angka pengangguran pada tahun 1994 tercatat sebesar 17 persen, menjadi 26 persen pada tahun 2004, dan kini pada tahun 2008 meningkat menjadi 50,3 persen. (http://www.theindonesianinstitute.com).

Korupsi

Telah banyak diketahui bahwa Indonesia termasuk negara paling korup di dunia. Telah banyak pejabat atau mantan pejabat yang diadili dan dihukum akibat melakukan korupsi semasa menjabat. Ini tentu merupakan kemajuan, karena sebelumnya hal ini tidak pernah terjadi. Di masa lalu, makin tinggi jabatan seseorang, makin aman dari jeratan hukum. Tapi untuk memberantas korupsi dan menciptakan negeri bebas korupsi, langkah-langkah tadi tentu belum cukup. Harus ada tindakan lain, seperti pembuktikan terbalik. Artinya, terdakwa lah yang harus membuktikan bahwa harta yang dimilikinya itu didapat dari jalan yang halal. Juga harus ada hukuman yang keras dan teladan dari pemimpin. Dan yang paling penting harus ada budaya takut kepada Allah dan adzab di akhirat dari mengambil harta dengan cara haram.

Kriminal: Meningkatnya Kasus Mutilasi

Tekanan dan beban hidup yang semakin berat dipercaya mendorong peningkatan angka kriminalitas. Tapi ada yang sangat menonjol di sepanjang tahun 2008, yakni meningkatnya kasus mutilasi. Mutilasi menjadi modus operandi favorit bagi pelaku pembunuhan. Sejak Januari hingga September 2008 tercatat ada 6 kasus mutilasi yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Namun baru 2 dari 6 kasus itu yang pelakunya diciduk (http://www.detiksport.com).

Selama 2008, kasus mutilasi juga terjadi di daerah-daerah lain seperti di Gunung Batu, Cicendo Bandung pada 30/8/08 (Pikiran Rakyat, 27/10/08), di Bima yang melibatkan tiga pelaku (nusatenggaranews.com), di Semarang (Solopos.com), di desa Pering Gianyar Bali (elShinta.com) dan masih ada kasus lainnya di tempat lain. Menurut kriminolog Erlangga Masdiana, semakin maraknya mutilasi ini juga tidak terlepas dari peran media massa. “Media sebagai sumber pembelajaran atau socio learning, sehingga timbul imitatif effect (efek peniruan),” katanya (kilasberita.com). Yang jelas makin meningkatnya jumlah dan ragam kriminaltas menunjukkan bahwa hukum tidak memberikan efek jera sehingga bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan. Itu artinya hukum yang ada tidak memadai untuk mencegah dan memberantas kriminalitas.

Pornografi

Oleh Associated Press (AP), Indonesia dinilai sebagai negara paling liberal dalam urusan pornografi nomor dua setelah Rusia. Terbitan-terbitan yang berbau pornografi dan berbagai porno aksi terus saja beredar luas tak tersentuh oleh hukum. Majalah Playboy Indonesia yang jelas mengusung pornografi malah diputus tak bersalah oleh PN Jakarta Selatan. Di dunia cyber, menurut Sekjen Aliansi Selamatkan Anak Indonesia, Inke Maris, Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar pengakses internet dengan kata seks (Republika, 22/9/08).

UU Pornografi akhirnya memang disahkan. Hanya saja telah berubah jauh dari draft dan semangat awal untuk memberantas pornografi dan pornoaksi. Kata anti pun hilang. Masalah pornoaksi juga tidak disinggung. Pornografi malah ada yang diperbolehkan. Yang dilarang hanya lima materi: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; dan alat kelamin. Maka alih-alih memberantas pornografi, yang terjadi nanti UU itu justru dikhawatirkan malah akan melegalkan pornografi dan porniaksi dibawah diktum pornografi yang diperbolehkan.

Naiknya pengidap virus HIV/AIDS

UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981. Ini membuat AIDS sebagai salah satu epidemik paling menghancurkan dalam sejarah. Di Indonesia menurut data Departemen Kesehatan sampai dengan 31 Maret 2008 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak 11.868 kasus di 32 povinsi yang tersebar di 194 Kabupaten/Kota. Proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal adalah 20,95%. Hasil estimasi populasi rawan tertular HIV tahun 2006 adalah 193.000.

Proporsi kumulatif tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (53,62%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (27,79%) dan kelompok umur 40-49 tahun (7,89%). Kasus terbanyak di DKI Jakarta, Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat. Rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan 31 Maret 2008 adalah 5,23 per 100.000 penduduk. Sementara rate kumulatif tertinggi di provinsi Papua (75,312), DKI Jakarta (33,995), Bali (23,012), Kep. Riau (20,397), Kalimantan Barat (18,828), Maluku (11,506), Papua Barat (9,937), Bangka Belitung (6,799), dan Sulawesi Utara (5,753).

Menurut Juru Bicara Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tini Suryanti, jumlah penderita HIV/AIDS mencapai 4.288 orang meningkat dari 2.849 penderita tahun lalu. Jumlah ini, lanjut Tini, masih fenomena gunung es. “Yang tidak terdeteksi bisa 100 kali lebih banyak,” katanya. Jakarta Barat menurut Tini adalah wilayah paling besar pengidap HIV/AIDS dibandingkan wilayah lain karena Jakarta Barat memiliki banyak tempat hiburan malam. (TEMPO Interaktif, 30/11/08).

Data juga menunjukkan bahwa medium penyebaran virus mematikan itu paling besar melalui jarum suntik dan seks berganti-ganti pasangan. Sejauh ini, tidak terlihat upaya penanganan virus HIV/AIDS ini secara mendasar. Kondomisasi yang telah terbukti gagal justru terus dipromosikan. Pelacuran juga masih dibiarkan berlangsung bebas. Bila penanganan masih dengan cara konvensional seperti yang sekarang ini terjadi, dipastikan pengidap virus HIV/AIDS akan semakin banyak di tahun mendatang.


4. LUAR NEGERI

Ancaman Disintergrasi

Hubungan luar negeri masih ditandai dengan dominasi Amerika Serikat dan negara-negara besar lainnya terhadap Indonesia. Hal ini tampak dari adanya intervensi negara-negara adidaya yang mengarah pada dukungan langsung atau tidak langsung terhadap upaya disintegrasi beberapa kawasan strategis Indonesia terutama Papua dan Aceh.

Dengan dalih penghormatan pada kebebasan berpendapat, 40 anggota Kongres Amerika Serikat (AS) meminta agar Presiden membebaskan tanpa syarat dua tokoh gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), Filep Karma dan Yusak Pakage dari hukuman. Surat itu merupakan bukti yang sangat nyata bukan hanya tentang adanya campur tangan AS terhadap urusan dalam negeri Indonesia, tapi juga adanya dukungan terhadap gerakan separatis OPM. Sementara itu sikap pemerintah yang terlampau memberikan jalan kepada negara asing dan LSM internasional untuk menyelesaikan persoalan Aceh juga berbahaya terhadap integrasi Indonesia.

Kampanye War on Terrorism (WOT)

Ketundukan Indonesia terhadap AS dan sekutunya sangat jelas, misalnya terlihat dalam agenda perang melawan terorisme (war on terrorist). Dilihat dari target WOT, stigma negatif terhadap Islam dan kelompok Islam tampak menonjol seperti penggunaan istilah jama’ah Islamiyah, jihad yang sering dikaitkan dengan kelompok al-Qaida. Paling banyak diawasi, dicurigai bahkan diburu sebagai pelaku adalah umat Islam atau kelompok Islam yang dianggap pernah terlibat berjihad dalam perang Afghanistan, Thailand Selatan (Pattani), Philipina Selatan (Moro), atau mereka yang pernah ikut membela umat Islam dalam konflik Ambon dan Poso.

Pemerintah Indonesia sepertinya enggan mengungkap siapa sebenarnya master mind dari perbagai peledakan di Indonesia. Dalam kasus bom Bali misalnya, memang, Amrozi dan kawan-kawan yang telah dihukum mati memang mengakui telah menyiapkan bom, tapi benarkah bom sangat besar itu adalah benar-benar bom yang dibuat oleh Amrozi dan kawan-kawan? Keraguan semacam ini akan terus ada mengingat banyak sekali fakta-fakta yang sangat gamblang yang menunjukkan tentang kemungkinan adanya bom yang sengaja ditumpangkan oleh pihak lain.

Hal ini menimbulkan kesan kuat terorisme yang selama ini terjadi adalah fabricated terrorism atau terorisme yang diciptakan. Seharusnya Pemerintah Indonesia tidak boleh terjebak pada apa yang disebut kampanye war on terrrorism yang didengungkan AS karena kampanye ini hanyalah kedok (mask) untuk menutupi maksud sesungguhnya, yakni war on Islam.

Sementara, terhadap Amrozi, Imam Samudra dan Mukhlas yang telah dieksekusi, didoakan semoga meninggal dalam keadaan khusnul khatimah dimana seluruh amal shalehnya diterima oleh Allah SWT, dan segala dosa, kesalahan dan kekhilafah mereka diampuni, sehingga di Akhirat mendapatkan tempat yang terbaik di sisi Nya.

NAMRU dan Intervensi AS

Lemahnya Indonesia bila berhadapan dengan AS juga terlihat dalam kasus unit penelitian medis Angkatan Laut AS (Naval Medical Research Unit 2) atau Namru-2. Polemik tentang keberlangsungan laboratorium Namru-2 di Indonesia belum berakhir. Meskipun Menteri Kesehatan sudah berulang kali menyatakan proyek kerjasama dengan Angkatan Laut AS tak bermanfaat dan harus dihentikan, termasuk Menristek Kusmayanto Kadiman yang meminta Namru-2 dibekukan, namun Namru tetap berdiri tegak.

Ngototnya pemerintah AS untuk mempertahankan Namru termasuk ngotot meminta 20 stafnya diberikan kekebalan diplomatik tentu menjadi pertanyaan. Sekaligus semakin menegaskan bahwa unit ini lebih banyak untuk kepentingan negara adidaya itu. Diketahui, Namru-2 diberi banyak kelonggaran, termasuk kekebalan diplomatik untuk stafnya guna memasuki seluruh wilayah Indonesia. Padahal Namru-2 bukan bagian dari kegiatan diplomasi .

Diduga, Namru-2 juga melakukan kegiatan intelijen mengumpulkan data dan informasi tentang penyakit, terutama penyakit menular dan berbahaya, yang sangat penting bagi AS, khususnya militernya. Lewat Namru-2, spesimen virus dan penyakit menular berbahaya ada di Indonesia bisa dibuat untuk berbagai kepentingan termasuk senjata biologis. Yang jelas, berlarut-larut dan terkesan begitu sulitnya memutuskan penghentian Namru-2, seolah semakin menguatkan dugaan bahwa Pemerintah, termasuk kalangan di DPR, tunduk pada tekanan asing (AS).

Ketika isu terorisme belum reda, publik Indonesia dikejutkan dengan kerjasama KPK dan FBI (Federal Bureau of Investigation) dalam proyek yang disebut Pemberantasan Korupsi. Kerjasama itu dilakukan dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Ketua KPK, Antasari Azhar dan Deputi Direktur FBI, John Pistole di Gedung KPK di Jakarta, Selasa 18 Nopember 2008. Melalui kedok bantuan teknis, pelatihan SDM, pertukaran data dan informasi serta pelatihan intelijen, jelas AS bisa mencengkram negeri ini lebih dalam.

Barack Obama, President Elect

Sementara dalam hubungan luar negeri, terpilihnya Barack Obama seakan memberikan harapan baru dalam konstelasi politik internasional. Namun harapan sepertinya tinggal harapan. Sebagai sebuah negara yang berideologi Kapitalis, AS tidak akan banyak berubah. Obama seorang tidak bisa diharapkan bisa melakukan perubahan mendasar. Amerika Serikat tetap akan berusaha menguasai dunia dengan metode penjajahan mereka yang baku. Apalagi, AS adalah sebuah sistem dengan banyak institusi, kelompok penekan, kelompok lobi Yahudi, kelompok bisnis, kelompok media termasuk militer yang akan mempengaruhi kebijakan AS. Kebijakan AS bukanlah hanya seorang Obama.

Apalagi sejak kampanye beberapa pandangan mendasar Obama tidak jauh beda dengan presiden lainnya. Obama tetap pro Israel. Bagi Obama dan presiden AS yang lain membela Israel merupakan tugas suci yang harus dilakukan dan tidak boleh berubah. Tidaklah mengherankan kalau orang-orang disekitar Obama sangat pro Israel. Seperti penunjukan Hillary Clinton sebagai Menlu . Hillary bersikap lebih keras dan lebih pro-Israel ketimbang Obama saat kampanye. Hillary Clinton juga bersumpah akan “menghancurkan” Iran jika negara itu berani menyerang Israel.

Sebelumnya Obama menunjuk Rohm Israel Emanuel yang sebagai pendukung fanatik negara Israel menjadi kepala staf Gedung Putih. Posisi ini sangat penting karena dia akan mengatur dapurnya Gedung Putih. Surat kabar terkemuka Israel Maariv menggambarkan Emmanuel sebagai ‘orang kita di Gedung Putih’.

Karena itu sulit berharap terjadi perubahan mendasar kondisi Palestina. Negeri Islam itu akan tetap dijajah dan diperangi oleh Israel dengan dukungan penuh dari negara adi daya itu. AS juga akan tetap mempertahankan kebijakan belah bambu dan adu domba dengan mendukung Fatah, disisi lain memojokkan Hamas sebagai kelompok teroris. Sementara penguasa Arab dan negeri Islam lainnya akan tetap diam tidak melakukan pembelaan nyata terhadap Palestina.

Obama juga tetap menjalankan agenda WOT (war on terrorism) yang sarat dengan kepentingan AS. Bahkan jauh sebelum terpilih dalam kampanyenya AS telah berjanji menjadikan Afghanistan dan Pakistan sebagai sasaran perang AS yang utama. Obama memang berencana menarik pasukan AS dari Irak, namun Obama berencana mengirim pasukan yang lebih banyak lagi ke Afghanistan. Penarikan pasukan dari Irak itupun harus menunggu tahun 2011 (berdasarkan pakta keamanan AS-Irak).

Krisis Mumbai

Krisis Mumbai yang terjadi pada Rabu 26 November 2008 di India menjadi moment peneguhan perang melawan terorisme. Misteri siapa sebenarnya pelaku serangan ini belum terungkap. Tuduhan paling mudah diarahkan kepada kelompok mujahidin Khasmir. Yang jelas siapapun pelakunya, seringkali tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata muncul sebagai reaksi dari kekerasan dan ketidakadilan yang dilakukan negara.

Aryn Baker dalam Time (Kamis, 27 November 2008) mengingatkan hal ini. Menurutnya, krisis Mumbai tidak bisa dipisahkan dari ketidakadilan yang dirasakan Muslim minoritas India termasuk dalam masalah Khasmir. Kondisi ini, menurutnya, diperparah dengan kerusuhan di Gujarat tahun 2002 yang menewaskan lebih kurang 2.000 orang yang sebagian besarnya adalah Muslim.

Yang perlu dicermati, krisis Mumbai digunakan untuk kepentingan negara-negara besar dalam agenda perang melawan terorisme. Apalagi Obama presiden terpilih AS secara terbuka mengatakan bahwa wilayah Pakistan, Afghanistan (yang berdekatan dengan India) akan menjadi front terdepan bagi AS untuk memerangi terorisme. Krisis Mumbai dijadikan negara adidaya itu untuk mengokohkan kepemimpinannya di wilayah itu atas nama perang melawan terorisme.

Peristiwa ini juga sepertinya akan benar-benar dimanfaatkan oleh pemerintah boneka AS di Pakistan dan Afghanistan untuk memperkuat posisi mereka. Peristiwa Mumbai memperkuat legitimasi memerangi pejuang Islam atas nama war on terrorism. Ke depan pemerintah India, Pakistan, dan Afghanistan akan mengokohkan strategi AS untuk membendung kelompok perlawanan Islam yang dituduh teroris.


5. LIBERALISASI AGAMA

Ahmadiyah dan Liberalisasi Agama.

Persoalan Ahmadiyah sesungguhnya sudah sangat lama. Karena meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan kitab Tadzkirah sebagai wahyu, serta banyak keyakinan lain yang menyimpang, kelompok ini jelas telah murtad dari Islam. Fatwa yang menyatakan kesesatan kelompok ini juga telah dikeluarkan oleh MUI dan organisasi Islam, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di negara kelahirannya sendiri, Ahmadiyah dimasukkan dalam non-Muslim.

Kendati tuntutan agar kelompok ini dibubarkan, atau dikatagorikan sebagai pemeluk agama selain Islam mengalir deras, namun pemerintah tidak bersikap tegas. Sikap pemerintah terhadap Ahamdiyah berbeda dengan sikap terhadap kelompok lain yang juga menodai Islam, seperti kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah yang meyakini pemimpinnya, Ahmad Mushaddeq sebagai nabi, atau Lia Eden dengan Jamaah Salamullah-nya yang mengaku mendapatkan wahyu dari Jibril.

Pemerintah akhirnya memang mengeluarkan SKB tiga menteri. Namun amat disayangkan, SKB itu hanya berupa peringatan. Tidak ada sanksi tegas, apalagi pembubaran terhadap kelompok sesat itu. Lebih ironis, kendati telah mendapat peringatan dan jelas-jelas tidak mengindahkan peringatan SKB tiga menteri, Ahmadiyah tetap leluasa mempraktekkan dan mengembangkan keyakinannya.

Tentu patut dipertanyakan, mengapa pemerintah – yang dikatakan Presiden SBY tidak boleh kalah oleh kelompok - tidak berdaya menghadapi Ahmadiyyah. Jika terhadap Habib Rizieq (yang sebenarnya tidak turut serta dalam insiden Monas), Munarman, dan sejumlah aktivitas FPI pemerintah bisa bersikap tegas, namun tidak demikian ketika berhadapan dengan aktivis AKKBB. Padahal, aliansi kelompok liberal inilah yang melakukan provokasi terhadap umat Islam dan paling getol membela Ahmadiyah.

Islamo-phobia

Kasus-kasus yang menunjukkan ketakutan dan kebencian terhadap Islam masih menyeruak. Kasus pelarangan pemakaian jilbab di Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi adalah salah satunya. Pelarangan serupa sebelumnya juga terjadi di Rumah Sakit Kebonjati, Bandung. Pula, di Kediri ketika pemilihan anggota paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) dimana panitia seleksi Paskibraka memaksa agar peserta seleksi melepas jilbab dan mengangkat roknya untuk mengetahui bentuk kaki peserta. Kejadian itu pun mengundang kecaman dari tokoh dan ormas Islam.

Tindakan berbagai instansi –termasuk instansi pemerintah– itu tentu sangat disayangkan. Jilbab dan kerudung merupakan bagian dari kewajiban Islam terhadap pemeluknya. Padahal, di dalam konstitusi secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin warganya menjalankan kewajiban agamanya. Juga, seperti yang sering didengungkan, negara menginginkan warganya beriman dan bertakwa. Semestinya, pemerintah mendorong rakyat untuk menunaikan kewajiban agama tersebut. Bukan malah sebaliknya, melarang atau membiarkan pelarangan terhadap pelaksanaan kewajiban itu. Tak kalah anehnya, sikap kelompok-kelompok liberal yang biasanya getol menuntut kebebasan beragama, justru terhadap kasus-kasus seperti itu mereka sama sekali tidak bersuara membela kebebasan beragama seperti yang sering mereka teriakkan. Sikap itu jelas menunjukkan Islam-phobia.

Sikap Islam-phobia lebih parah adalah pada kasus penghinaan terhadap Rasulullah saw dan ajaran Islam. Sebuah website memuat beberapa komik yang berisi penghinaan terhadap Nabi saw. Namun sayangnya, pemerintah tampak mudah menyerah, lamban, dan tidak bersikap tegas. Berbeda sekali ketika menangani kasus-kasus lain yang dianggap membahayakan negara atau masyarakat. Terhadap pelaku yang menyebarkan email tentang kesulitan likuiditas Bank Century, pemerintah demikian cekatan. Hanya beberapa hari pelakunya dapat ditangkap. Demikian juga dengan beberapa pelaku SMS teror. Apakah sikap Islam-phobia juga menjangkiti penguasa di negeri ini?

Kristenisasi dan pemurtadan

Upaya kristenisasi dan pemurtadan terhadap umat Islam masih terus berjalan dengan berbagai modus operandi. Di Bekasi, kristenisasi dilakukan dengan kedok aksi sosial “Bekasi Berbagi Bahagia” oleh Yayasan Mahanaim. Beberapa orang yang hadir dibuat tidak sadar dan dibaptis, sementara anak-anak kecil diberi bingkisan mainan “barisan berbentuk salib”. Kegiatan ini dilakukan di beberapa lapangan terbuka di Bekasi. Anehnya, kegiatan tersebut justru mendapatkan izin dari Walikota Bekasi.

Sebelumnya kasus Kristenisasi juga mencuat di Pinang Ranti, Jakarta Timur. Penduduk yang sudah lama diresahkan oleh keberadaan SETIA (Sekolah Tinggi Theologi Injili Arastamar) dan aktivitas mahasisiswanya akhirnya tidak tahan. Bentrokan antara penduduk dan mahasiswa SETIA pun tak terhindarkan. Hingga kini. Belum ada penyelesaian yang tuntas terhadap kasus tersebut.

Beberapa kasus yang mencuat itu hanya sebagian kecil dari kegiatan kristenisasi yang sempat terungkap. Masih banyak kegiatan pemurtadan yang terus berjalan dengan berkedok aksi-aksi sosial, pengobatan, dan pendidikan. Juga pendirian gereja atau memfungsikan rumah tinggal sebagai rumah ibadah di tengah-tengah pemukiman mayoritas Muslim. Daerah-daerah yang miskin, ditimpa bencana, dan konflik merupakan daerah yang rawan kristenisasi. Amat disayangkan, pemerintah tidak cukup serius menangani persoalan ini. Padahal kegiatan ini tidak hanya membahayakan aqidah kaum Muslim, namun dapat menyulut konflik antaragama. Ironisnya, dalam berbagai kasus konflik tersebut umat Islam kerapkali dituding sebagai penyebabnya. Padahal, umat Islam hanya berusaha menjaga aqidah mereka. Sungguh sangat memprihatinkan.


KHATIMAH

Selain hal-hal penting di atas, sepanjang tahun 2008 negeri yang oleh para pujangga dahulu disebut zamrud khatulistiwa juga tetap diwarnai oleh banyak sekali bencana berupa gempa, kebakaran, banjir dan tanah longsong. Bencana tersebut juga menyisakan sebuah ironi. Yaitu bila diyakini bahwa segala bencana itu disamping karena faktor manusia, yang utama adalah karena qudrah (kekuatan) dan iradah (kehendak) Allah SWT dan karenanya kita sering diajak berdoa agar terhindar dari segala bencana, tapi mengapa pada saat yang sama kita tidak juga mau tunduk dan taat kepada Allah dalam kehidupan kita. Buktinya hingga kini masih sangat banyak larangan Allah (zina, riba, judi, pornografi, kedzaliman, ketidakadilan, korupsi dan sebagainya) masih juga dilanggar, dan masih sangat banyak kewajiban Allah (penerapan syariah, zakat, hukuman, shalat, haji, dan sebagainya) yang tidak dilaksanakan. Pertanyaannya, perlukah ada bencana yang lebih besar lagi untuk menyadarkan kita agar segera tunduk dan taat kepada Allah, bukan sekedar mengakui kekuasaan dan kekuatanNya dalam setiap bencana?

Berkenaan dengan kenyataan di atas, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

1. Menilik berbagai persoalan yang timbul di sepanjang tahun 2008 dapat disimpulkan ada dua faktor utama di belakangnya, yakni sistem dan manusia termasuk kepemimpinan. Krisis finansial global, PHK, pengangguran, kemiskinan, kriminalitas dan problema sosial lain, intervensi asing, Islamo-phobia dan berbagai bentuk kedzaliman sepenuhnya terjadi karena pilihan manusia dalam menata berbagai aspek kehidupan. Pemimpin yang tidak amanah dan sistem yang buruk, yakni sistem Kapitalisme dan Sekularisme ditambah lemahnya moralitas individu telah terbukti menjadi pangkal munculnya persoalan di atas. Karena itu, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan di atas, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itulah syariah Allah dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu.

2. Di sinilah sesungguhnya esensi dari seruan Selamatkan Indonesia dengan Syariah. Karena hanya dengan sistem berdasarkan syariah yang dipimpin oleh orang amanah saja Indonesia benar-benar bisa menjadi baik. Dengan sistem ini pula terdapat nilai transedental dalam setiap aktifitas sehari-hari yang akan membentengi setiap orang agar bekerja ikhlas, tidak terkontaminasi oleh kepentingan pribadi, golongan maupun asing. Memiliki paradigma yang jelas bahwa memimpin adalah amanah dari Allah dan syariah adalah jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan, mengentaskan kemiskinan, menolak intervensi, menghapus pornografi dan pornoaksi, serta mewujudkan kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta, sedemikian kedzaliman dan penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi.

3. Karena itu, diserukan kepada seluruh umat Islam, khususnya mereka yang memiliki kekuatan dan pengaruh seperti pejabat pemerintah, para perwira militer dan kepolisian, pimpinan orpol dan ormas, anggota parlemen, para jurnalis dan tokoh umat untuk berusaha dengan sungguh-sungguh memperjuangkan tegaknya syariah di negeri ini. Hanya dengan syariah saja kita yakin bisa menyongsong tahun mendatang dengan lebih baik. Lain tidak.

Dikutip dari Pernyataan
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/13/refleksi-akhir-tahun-2008-hizbut-tahrir-indonesia-selamatkan-indonesia-dengan-syariah-menuju-indonesia-lebih-baik/

Mangga Baca Selengkapnya......