Sakit Kepala? Inilah Pertolongan Pertamanya, Pijat Di 4 Titik Berikut


Jari Anda bisa membantu meredakan sakit kepala. Terapi dengan jari ini membuat Anda akan merasa lebih baik dalam waktu singkat.

Pakar kesehatan RealAge, Mehmet Oz, MD, dan Michael Roizen, MD, dalam bukunya “YOU: Being Beautiful” memaparkan, terapi akupresur ini dilakukan pada titik tertentu di wajah dan tangan Anda, yakni:

Titik pada otot temporalis
Gunakan jari telunjuk dan jari tengah, lakukan pijatan pada otot temporalis di daerah pelipis yang letaknya satu jari di atas mata bagian luar.

Titik di belakang telinga
Gunakan ibu jari untuk memijat titik di bagian bawah tulang besar di balik telinga Anda. Lakukan pijatan memutar pada bagian ini.


Titik antara mata
Gunakan jari tengah dan ibu jari, pijat perlahan titik di atas hidung di antara kedua mata, tarik ke atas hingga Anda merasakan tekanannya di sekitar alis.

Titik antara ibu jari dan telunjuk
Gunakan ibu jari dan telunjuk tangan kanan untuk menekan titik di antara ibu jari dan telunjuk tangan kiri Anda. Titik akupresur ini memberikan efek menenangkan ke bagian kepala Anda yang terasa sakit.

Sumber: RealAge, Editor: din, kompas.com

Mangga Baca Selengkapnya......

Konflik Palestina dan Israel

Masalah Palestina atau sengketa Arab dengan Israel tentang tanah Palestina telah setengah abad lebih memenuhi halaman sejarah Timur Tengah. Bangsa Yahudi sebagai bangsa pendatang baru, karena alasan-alasan historis dan religius telah mengklaim Palestina sebagai tanah airnya. Penduduk Arab-Palestina yang sejak berabad-abad mendiami tanah itu mempertahankannya pula sebagi tanah airnya. Masalah di palestina semakin berambah rumit dengan adanya campur tangan Negara-negar besar yang melibatkan kepentingannya dalam persoalan tersebut.oleh karena itu dengan adanya hubungan itu negara-negara dunia merasa perlu untuk mengupayakan terjadinya perdamaian.

1. Palestina

Sebelum Islam berkembang di abad 7 M, telah banyak saudagar arab bermukim di Palestina, setelah Islam berkembang dan khalifah Umar bin Kattab berhasil merebut Palestina dari tangan Romawi, banyak orang arab menetap di Palestina. Negeri Palestina dengan kota Yerusalem memang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan beragama Umat Islam, mengingat Yerusalem juga merupakan lokasi salah satu bangunan yang disucikan oleh Umat Islam, yaitu Masjidil Aqsa (Baitul Maqdis). Masjid ini merupakan salah satu dari tiga masjid utama Umat Islam yang disucikan, selain Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Di Masjidil Aqsa inilah Nabi Muhammad SAW memperlihatkan Mukjizat Mi’rajnya.

Setelah bangsa Arab menetap berabad-abad di Palestina, mereka berkembang menjadi mayoritas. Wajar jika mereka kemudian menganggap Palestina sebagai negeri dan tanah airnya sendiri, sebagaimana orang Amerika (yankee) yang merupakan pendatang pada abad 17 menganggap tanah koloni yang mereka diami sebagi tanah airnya. Saat Palestina dikuasai Turki pada 1517 – 1919 SM, orang-orang Yahudi baru berjumlah 90.000 orang diantara mayoritas penduduk Arab. Meski demikian kedua bangsa itu bisa hidup berdampingan secara damai. Pertentangan baru terjadi sejak Palestina dikuasai Inggris (1920 – 1948), yaitu saat imigran-imigran Yahudi membanjiri Palestina dengan membawa cita-cita zionisme; suatu cita-cita yang mengancam hak hidup bagsa arab palestina di negeri dan tanah airnya sendiri.

2. Israel dan Zionisme

Menurut kitab-kitab suci Umat Islam, Kristen , maupun Yahudi , bangsa Arab dan Yahudi sesungguhnya serumpun. Yakni keturunan Nabi Ibrahim, seorang Nabi yang mereka muliakan bersama. Bangsa Arab yang sejak semula menetap di Jazirah Arabia berasal dari keturunan putra Nabi Ibrahim yang tertua (Nabi Ismail). Sedang putra kedua (Nabi Ishak), turun ke nabi Yakub, dan berkembanglah keturunan yang kelak menjadi bangsa Yahudi.

Sejarah Israel di palestina telah dimuali sekitar abad 14 SM. Kerajaan Israel yang pertama berkembang di masa pemerintahan Nabi Daud, yang membangun kota benteng di atas bukit Zion, yang dinamai Yerusalem. Kerajaan Israel mencapai puncak kejayaanya di masa pemerintahan Nabi Sulaiman putra Daud sekitar 975 SM. Di zaman inilah didirikan bangunan suci Israel yang megah di Yerusalem, yang disebut Baitullah atau Heikal Sulaiman, yang kemegahannya selalu dikenang oleh bangsa yahudi sepanjang masa. Sepeninggal Sulaiman kerajaan Israel cepat mengalami kemunduran akibat perpecahan, sehingga sejak abad 8 SM, bangsa Israel berturut-turut silih berganti dijajah bangsa Assyiria, Babylonia, Persia, Yunani, dan Romawi. Ketika pada tahun 586 SM bangsa Babylonia menyerang Israel, kota Yerusalem dan Baitullah di hancurkan, dan ribuan orang Israel di jadikan budak. Di masa penjajahan Romawi , bangsa Israel pernah mencoba memberontak pada 70 SM, namun bisa diredam oleh jendral Vespasianus, dan untuk kedua kalinya kota Yerusalem dibakar.

Sejak peristiwa itu, banyak orang-orang Yahudi pergi meninggalkan negeri mereka dan tersebar di berbagai negeri, sehingga jumlah penduduk yahudi di Palestina semakin menipis, sedang penduduk arab yang semula pendatang semakin pertambah banyak.

Proses tersebarnya bangsa yahudi ke seluruh dunia telah berjalan sejak selesainya masa pembuangan di Babylonia pada abad 6 SM. Di awal abad 1 M saja, diperkirakan terdapat lima juta orang Yahudi yang tersebar di wilayah kekuasaan Romawi.

Bangsa Yahudi adalah salah satu bangsa di dunia ini yang memiliki kesadaran rasional dan nasionalisme yang kuat. Meski negara mereka telah hancur dan berabad-abad menetap di negeri orang, mereka tetap memelihara identitas mereka sebagai orang Yahudi. Hal yang memungkinkannya adalah karena terdapat ikatan keagamaan yang sangat kuat, yang didalamnya terpatri pula kesadaran nenek moyangnya di masa lampau.

Dimana-mana orang Yahudi membentuk komunitas eksklusif berupa perkampungan yang disebut ghetto. Umumnya mereka hidup sebagai pedagang, banker, atau rentenir; terkenal rajin, ulet dan hemat atau bahkan pelit, sehingga banyak yang memperoleh kesuksesan financial. Sifat demikian (ditambah kecenderungan enggan berasimilasi) memicu gerakan Yahudi atau anti-semit warga pribumi, seperti pernah terjadi di Rusia pada tahun 1882, dan di Jerman pada masa kekuatan Hitler.

Gerakan anti-semit menimbulkan reaksi balik berupa gerakan zionisme di dunia, yang dicetuskan pertama kali pada 1896 oleh Dr Theodore Herzl, seorang yahudi Hongaria di Paris. Menurut Herzl, satu-satunya obat mujarab untuk mengurangi antisemitisme adalah dengan menciptakan suatu negara untuk Yahudi itu sendiri.

Melalui pamfletnya yang berjudul “Der Yuden Staat” Herzl mempropagandakan cita-citanya tersebut. Pada mula Herzl belum menegaskan dimana letak tanah air bangsa Yahudi akan dibangun. mula-mula disebut Argentina atau Palestina. Tetapi dalam kongres kaum zionis pertama di Bassel. Swiss tahun 1897, mereka menetapkan Palestina sebahgai pilihannya.hingga pada akhirnya melalui ekor Inggris-lah Yahudi membentuk negaranya.samapai pada keputusan PBB yang kontroversial pada tahun 1947, dan terbentuknya negara Yahudi atas nama Israel dimerdekakan pada tahun 1948.

3. Konflik

Negara-negara Arab berekasi spontan atas pernyataan kemerdekaan Israel dengan mengangkat senjata. Perang Arab-Israel pun pecah. Hingga pada tahun 1973, perang telah berlangsung empat kali, yakni tahun 1948, 1956, 1967, dan 1973. Israel memenangkan tiga perang yang pertama. Pada perang kilat tahun 1967 ( hanya berlangsung 130 jam), Israel berhasil merebut wilayah Mesir di Sinia, wilayah Yordania di lembah barat sungai Yordan, dan wilayah Suriah di dataran tinggi Golan, yang total luasnya empat kali luas wilayah Israel semula.

4. Upaya Perdamaian

Dari sekian lamanya perang itu berlangsung hingga sekarang maka dunia wajib untuk membuat solusi. November 2007 terjadi sebuah perhelatan akbar di Annapolis, Amerika Serikat (AS), atas prakarsa Presiden Geroge W Bush. Di sini dilangsungkan konferensi penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina yang disebut Perdamaian Tingkat Tinggi (Peace Summit).

Selain kehadiran kedua pemimpin Israel Ehud Olmert dan Presiden Otoritas Pelestina Mahmoud Abbas,turut diundang ke sini 40 perwakilan dari berbagai negara dan organisasi internasional, termasuk Indonesia dan PBB. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda hadir sebagai wakil dari Pemerintah Indonesia. Konferensi yang mengambil tempat di Akademi Angkatan Laut AS itu dihadiri oleh berbagai unsur yang cukup menentukan dalam upaya penyelesaian konflik antara Palestina dan Israel.

Dari negara-negara tetangga hadir antara lain Arab Saudi, Mesir, dan Yordania. Suriah, yang dikenal belum memiliki hubungan diplomatik dengan AS, juga turut hadir setelah didesak oleh negaranegara tetangga Arab lainnya. Yang disayangkan adalah ketidakhadiran dua unsur yang menentukan masa depan persetujuan, apa pun bentuknya, yang akan diambil dalam konferensi itu. Satu unsur luar, Iran, dan satu unsur dalam negeri Palestina, Hamas yang sampai sekarang seharusnya diakui sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Palestina.

Hamas memenangi pemilu Palestina yang bersejarah itu.Pemilu ini juga disaksikan oleh para pemantau internasional, termasuk mantan Presiden AS Jimmy Carter. Kesengajaan untuk tidak mengikutkan dua unsur penentu, Iran dan Hamas, dalam upaya penyelesaian konflik tersebut adalah indikasi langsung kegagalan konferensi tersebut. Bahkan, sikap itu menandakan ketidakseriusan atau ketidakikhlasan AS, dalam upaya mencari penyelesaian konflik Timur Tengah, khususnya konflik Palestina- Israel.

Sikap mengabaikan Iran dan Hamas ini menandakan bahwa konferensi ini memiliki muatan politis kepentingan AS itu sendiri. Tentu pula ini mengingatkan kita pada sebuah ungkapan cantik dari Mother Theresa: “If you want peace, go talk with your enemies, you don’t make peace with your friends.”Tampaknya seleksi peserta Peace Summit ini adalah awal dari kegagalannya sekaligus sebagaimana kita tangkap dari pernyataan telak Mother Theresa tersebut.

Selain itu, AS sebagai tuan rumah konferensi ini juga menimbulkan berbagai tanda tanya. Siapa pun tahu kalau kebijakan Pemerintah AS, khususnya yang terefleksi dalam berbagai dukungan atau penentangan terhadap berbagai resolusi PBB, khususnya resolusi-resolusi DK-PBB, selalu mendukung kepentingan Israel secara sepihak. Tak pelak, konferensi yang mengambil tempat di bumi AS ini pun wajar dicurigai sebagai bagian dari kepentingan politis AS, khususnya dalam menghadapi Pemilu 2009 mendatang.

Asumsi di atas juga disampaikan oleh beberapa pihak yang justru ikut terlibat dalam konferensi. Saeb Erekat, negosiator Palestina, misalnya, mengatakan tidak ada “magic stick” (tongkat sihir) yang diharapkan dari pertemuan Annapolis ini. “Yang diharapkan hanyalah, setelah melewati hari ini, Selasa 27 November, masing-masing Israel dan Palestina punya komitmen baru untuk duduk kembali ke meja perundingan.Lebih dari itu jangan terlalu berharap,”tegasnya.

A. Faktor Suriah

Ada sebagian kalangan yang optimistis dengan pertemuan ini karena beberapa faktor. Kehadiran berbagai unsur yang dianggap vital dalam upaya penyelesaian konflik, termasuk negara-negara Arab tetangga yang menentukan dan negara-negara persekutuan Eropa, termasuk Rusia, Inggris, dan Prancis. Apalagi dengan kehadiran Suriah yang dianggap memiliki pengaruh langsung kepada Hizbullah,musuh bebuyutan Israel. Namun, optimisme itu tidak memiliki landasan. Ternyata Saudi sendiri baru menyetujui untuk ambil bagian beberapa hari lalu.

Apalagi Suriah juga setuju untuk hadir, bukan karena undangan AS, tapi lebih pada seruan atau tekanan negara-negara Arab tetangganya. Diperumit lagi, baru sekitar tiga bulan lalu kapal-kapal perang Israel melakukan penyerangan ke sebuah daerah Suriah yang dianggap areal nuklir Suriah.Semua ini merupakan kendala yang akan menjadikan pembicaraan substansial semakin samar. Juga perlu diingat, Suriah adalah salah satu negara yang masih tertuduh oleh AS sebagai negara yang menyokong terorisme, seperti juga dengan Iran, Korea Utara, Kuba, dan Sudan. Tuduhan tersebut lebih kental dipahami sebagai bagian dari dukungan AS terhadap negara Israel.Suriah dan Iran, setelah kehancuran Irak, dianggap dua negara yang masih menjadi ancaman besar bagi eksistensi Israel.

B. Konferensi Tandingan

Di saat Konferensi Annapolis dipersiapkan, dan di saat Mahmoud Abbas mempersiapkan diri menuju AS, di Gaza juga sedang dilangsungkan sebuah konferensi yang digelar oleh pemerintahan Hamas. Dua hari sebelumnya, Presiden Iran juga telah mengundang Perdana Menteri Palestina Ismail Haniyya ke Teheran dan mengumumkan bahwa mereka yang hadir di Konferensi Annapolis tidak mewakili bangsa Palestina. Perdana Menteri Ismail Haniyya sendiri menegaskan Selasa (27/11), bahwa Mahmoud Abbas tidak punya hak mengakui sebagai wakil bangsa Palestina ke konferensi di Annapolis itu.

“Tanah Palestina adalah hak penuh orangorang Palestina. Tidak seorang pun, kelompok atau pemerintahan, atau generasi manapun yang bisa melepaskan satu inci darinya. Jika ada yang bekerja sama dengan penjajah, maka dia adalah pengkhianat,” seru Mahmud Zahhar dalam konferensi tandingan yang dihadiri lebih dari 2.000 orang di Gaza itu. Di hari yang sama, Selasa (27/11), ratusan ribu bangsa Palestina turun di jalan-jalan Gaza memprotes konferensi damai di Annapolis itu. Protes itu diprakarsai oleh Hamas dan Pergerakan Jihad Islam (Islamic Jihad Movement) menentang apa pun persetujuan dari pertemuan pihakpihak terkait dalam Peace Summit tersebut.

C. Faktor Indonesia

Dari sekian negara-negara berpenduduk mayoritas muslim non- Arab, Indonesia dan Malaysia termasuk dalam susunan delegasi yang akan hadir dalam Konferensi Damai Annapolis itu. Untuk apa? Tidak jelas apa peranan yang akan dimainkan kedua negara dalam pertemuan tersebut. Malaysia saat ini memang menjabat Ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI) sehingga wajar jika diundang mewakili negara-negara yang tergabung dalam OKI. Lalu, dalam posisi apa Indonesia diundang?

Perlu diketahui bahwa komitmen Indonesia untuk terlibat dalam upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel itu bukan sesuatu yang baru.Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara langsung maupun melalui Menlu Wirajuda dalam beberapa kesempatan telah menyampaikan bahwa salah satu prioritas pemerintahannya adalah penyelesaian masalah Palestina. Tekad tersebut sebenarnya jelas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004–2009 Bab 8 tentang Pemantapan Politik Luar Negeri dan Peningkatan Kerja Sama Internasional.

Bab tersebut menjelaskan bahwa pemajuan peranan aktif Indonesia di berbagai forum internasional dan PBB harus direvitalisasi dalam upaya mencapai penyelesaian adil dalam soal Palestina dengan mengakhiri pendudukan Israel sebagai bagian dari “peace making”. Diakui ataupun tidak, ada semacam penilaian publik bahwa Indonesia tampak kurang percaya diri, bahkan pasif dalam mewujudkan komitmen itu.Namun,perlu disadari bahwa untuk terlibat langsung memang tidak mudah, selain karena realitasnya Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.

Sementara untuk menjadi “broker” diperlukan penerimaan dua belah pihak. Selain itu,secara geografis juga Indonesia tidak langsung bersentuhan dengan kedua belah pihak. Berbeda misalnya dengan Mesir dan Yordania, atau Arab Saudi. Lalu apa modal utama RI dalam upaya ke arah perdamaian itu? Barangkali jawabannya sebagai berikut. Satu, Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dua, keberhasilan mewujudkan proses demokrasi dalam konteks negara berpenduduk mayoritas muslim. Tiga, sejarah peranan besar Indonesia dalam berbagai arena dunia dan hubungan internasional dan multilateral.

Mungkin contoh terakhir adalah Indonesia berhasil terpilih menjadi anggota tidak tetap DK PBB dan saat ini menjadi presidennya. Tetapi perlu diakui, memang tampaknya yang paling berat bagi Indonesia adalah menemukan “format” keterlibatan langsung itu. Dari mana dan bagaimana memulai peranan sebagai “penengah” itu? Sedemikian rumitnya permasalahan ini sehingga memang ada indikasi Indonesia masih “maju-mundur”dalam melakukan peranan itu.

Bahkan ada semacam skeptisisme bahwa tidak mungkin Indonesia bisa melakukan peranan tersebut. Sedangkan kelompok Kuartet saja, yaitu PBB, AS, Uni Eropa dan Rusia, tidak mampu melanggengkan gagasan “Roadmap”, bagaimana mungkin Indonesia? Yang pasti, apa yang selama ini diasumsikan sebagian orang bahwa Indonesia bisa memainkan peranan sebagaimana ketika menjadi “peace broker” di Filipina Selatan maupun Kamboja pada akhir dekade 1980-an.

Tapi perlu disadari bahwa selain “internal faktor” Indonesia ketika itu dianggap negara stabil dan kuat, juga karena memang karisma Indonesia di mata ASEAN, OKI, dan NAM, bahkan di mata dunia internasional sangat tinggi. Pertanyaannya, apakah semua itu masih dimiliki? Akhirnya, Konferensi Damai di Annapolis itu merupakan sejarah yang akan dicatat.Tapi apakah sejarah itu akan menjadi kenangan manis? Atau mungkin hanya sebuah kenangan yang berlalu tanpa makna besar, khususnya bagi kedua pihak Israel dan Palestina. Atau mungkin juga Peace Summit itu tidak lebih dari apa yang disebut oleh salah seorang penulis Amerika sebagai “sandwitched between photo”.

Rana Dariana dari Berbagai Sumber

Mangga Baca Selengkapnya......